Tulisan 3 (Regional) ilmu sosial dasar

 Berakhirnya Perang Dingin pada akhir tahun 1991 ternyata mampu membawa banyak perubahan pada kondisi yang terjadi di berbagai belahan dunia di mana wilayah Asia Timur pun termasuk ke dalamnya. Dinamika yang terjadi di Asia Timur pasca Perang Dingin tersebut melibatkan aspek hubungan internasional sebagai salah satu kajian penting pembahasan. Sebab, pada masa itu, bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat Cina pada tahun 1980-an, aspek hubungan internasional di Asia Timur pada awal tahun 1990-an mulai dipandang sebagai satu pokok bahasan yang mengalami transisi besar dan berada pada kondisi ketidakstabilan (Yamada, 2009: 3). Menurut analisis Yamada Yasuhiro, sejak saat itulah para akademisi dan jurnalis kemudian mencoba untuk memprediksikan mengenai bagaimana dan seperti apa prospek hubungan internasional di Asia Timur pada abad ke-21 nantinya dengan meletakkan asumsi bahwa pada momentum pasca berakhirnya Perang Dingin yang dibarengi dengan kemajuan yang dialami oleh Cina, akan mengubah struktur internasional kawasan Asia Timur sampai pada tingkatan tertentu dan Cina akan datang untuk memainkan peranan yang lebih besar dari sebelumnya dalam urusan-urusan internasional. Berkaitan dengan proposisi Yasuhiro itu, akan dijelaskan lebih jauh pula bagaimana para analis memetakan prediksinya masing-masing tentang percaturan hubungan internasional di Asia Timur yang memainkan peran beberapa negara di dalamnya.
            Pihak yang berada pada garis pesimistis memprediksikan bahwa setelah Perang Dingin, Asia akan menjadi kawasan multipolar dan cenderung tidak stabil. Salah satu contoh analis yang pesimis tersebut bernama Aaron L. Friedberg, seorang ahli politik di Princeton University, Amerika Serikat, yang memberikan pandangan pesimistiknya mengenai wacana peningkatan aspek hubungan internasional di Asia Timur dengan Cina sebagai salah satu aktor pentingnya, pada awal tahun 1990-an. Bahkan seolah mendukung pemikiran Friedberg tersebut, beberapa pengamat lain menyatakan bahwa akan terjadi perang yang tidak dapat dihindarkan antara Amerika Serikat dan Cina. Berbeda dengan pandangan pihak yang pesimis, para analis yang memiliki pemikiran optimis justru berargumentasi bahwa Asia Timur akan menjadi kawasan yang lebih stabil dibandingkan sebelumnya untuk berbagai macam alasan. Funabashi Yoichi misalnya, seorang jurnalis dari Jepang yang telah sangat diakui kredibilitasnya melalui pemberian penghargaan atas bukunya yang berjudul Asia-Pacific Fusion (dipublikasikan pada tahun 1985) menggambarkan dalam bukunya tersebut bahwa akan ada suatu pergerakan yang dinamis menuju kawasan Asia yang terintegrasi yang akan mengubah hubungan internasional di Asia Pasifik dan seluruh wilayahnya. Dinamika tersebutlah yang disebut Funabashi sebagai “Asia-Pasific Fusion”.
            Masih seputar prediksi para ahli mengenai prospek hubungan internasional di kawasan Asia Timur, menurut Amitav Acharya, seorang ahli politik di Nanyang Technological University, Singapura, tatanan internasional di Asia pada abad ke-21 akan menjadi stabil. Acharya menyampaikan bahwa perkembangan manusia dan jaringan hubungan lainnya yang disertai dengan kenaikan tingkat integrasi ekonomi, akan sama dengan jumlah peningkatan bangsa yang berbagi norma-norma dalam hubungan internasional di kawasan tersebut sehingga mampu membentuk tatanan internasional Asia yang lebih stabil (Yamada, 2009: 3). Namun berdasarkan pengalaman selama hampir dua dekade sejak berakhirnya Perang Dingin, dari dua macam pandangan di Asia yang saling bertolak belakang tersebut ternyata masih belum ada argumentasi yang benar-benar meyakinkan dan berhasil menyediakan bukti nyata untuk mendukung pendapat mana yang paling layak untuk diakui rasionalitas analisisnya. Jelasnya, memang terjadi perubahan dalam hubungan internasional di Asia Timur selama dua dekade lalu dengan menekankan pada peran dari Cina dan ASEAN sebagai model atau representasi regionalisme yang masih dapat mempertahankan eksistensinya di kawasan Asia. Respons yang berasal dari ASEAN dan Cina pada perubahan struktural yang terjadi di Asia Timur disebabkan oleh berakhirnya Perang Dingin dan perluasan kekuatan yang dilakukan Cina, yang telah membantu untuk membawa munculnya basis tatanan internasional baru di Asia Timur dengan ASEAN dan Cina sebagai pusatnya.
            Posisi negara-negara di kawasan Asia Timur dalam konteks hubungan internasional amat berpengaruh besar. Selain Cina, terdapat pula Jepang sebagai negara lain di Asia Timur yang memegang peranan penting. Digambarkan oleh Yamada (2009: 9) bahwa terdapat hubungan yang terbentuk di antara Amerika Serikat, Cina, dan Jepang pada abad ke-21 yang dapat dilihat sebagai bagian penting perubahan sistem dunia, khususnya jika yang dimaksud adalah perubahan pada pihak yang menjadi hegemon. Hegemoni dunia memang selalu mengalami perubahan dari yang semula dipegang oleh Portugal menjadi Belanda pada abad ke-17 kemudian beralih ke Inggris atau Great Britain pada abad ke-18, dan kemudian pada abad ke-20 lalu berubah menjadi diduduki oleh Amerika Serikat. Pada masing-masing kasus perubahan predikat sebagai hegemon di atas, ketika sebuah hegemon baru mengambil alih maka terjadi “hegemonic war” antara pemegang hegemoni lama dengan penantang hegemon yang berkeinginan untuk menggeser kedudukan hegemon lama untuk menjadi pihak hegemon baru. Namun berdasarkan sejarah, belum pernah ada penantang hegemon yang menyeret hegemon lama pada suatu perang hegemoni yang berhasil mengambil alih kedudukan sebagai hegemon. Sebab, perubahan hegemon biasanya terjadi secara alami dan karena ada faktor-faktor penyebab yang mengakibatkan terjadinya perubahan hegemoni. Oleh karenanya, hubungan antara Amerika Serikat-Cina-Jepang pada abad ke-21 ini mungkin akan mengulang kembali pola dari sejarah sistem dunia modern tadi. Banyak dugaan yang muncul bahwa sebenarnya terdapat kepentingan-kepentingan yang terselip dalam hubungan ketiga negara tadi yang disebut sebagai aktor-aktor baru dalam konteks hubungan internasional di Asia Timur. Bahkan apabila mendasarkan pada kepentingan yang terletak dalam hubungan ketiga negara tersebut, masa depan Asia Timur nantinya mungkin ditentukan oleh hubungan antara Amerika Serikat-Cina-Jepang. Jika bangsa atau negara lain mempertimbangkan Cina sebagai “penantang” dalam konteks hegemoni dan kemudian memperlakukan Cina berdasarkan persepsi tersebut maka Cina mungkin juga akan benar-benar menjadi hegemon yang baru (Yamada, 2009: 10).
            Jika tadi telah berbicara mengenai kepentingan yang bermain dalam hubungan internasional di kawasan Asia Timur, selanjutnya akan dibahas mengenai dinamika yang berlangsung di dalamnya. Pada dasarnya, hubungan internasional di Asia Timur cukup banyak dihampiri oleh berbagai macam konflik yang mayoritas dilatarbelakangi oleh perbatasan di antara negara-negara tersebut. Contoh konflik yang terjadi di Asia Timur beberapa di antaranya adalah antara Taiwan dengan Cina, Jepang dengan Korea Utara, dan Korea Utara dengan Korea Selatan. Pada konflik yang terjadi antara Taiwan dengan Cina, mulanya Cina yang menginginkan Taiwan kembali menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Cina namun ditolak oleh Taiwan karena menganggap bahwa Taiwan sendiri telah menjadi negara independen sejak tahun 1949. Sehingga kemudian Cina berusaha memasuki Taiwan melalui Partai Kuomintang yang pada akhirnya menjadi pemenang dalam Pemilu yang terakhir diselenggarakan oleh Taiwan. Selain itu, Cina juga berusaha untuk memberlakukan sistem berupa one china policy untuk menarik kembali Taiwan ke dalam wilayah pemerintahannya.
Selain konflik antara Taiwan dengan Cina, terdapat pula konflik yang timbul antara Jepang dengan Korea Utara yang melibatkan intervensi Amerika Serikat. Sebenarnya konflik tersebut timbul ketika dahulu Jepang pernah menduduki wilayah Korea Utara yang kemudian membuat Korea Utara menjadi tidak dapat menerima keberadaan Jepang di negaranya sehingga memicu hubungan kedunya menjadi tidak pernah baik hingga sekarang. Hubungan bilateral antara Jepang dan Korea Utara pun semakin buruk dengan adanya kehadiran Amerika Serikat yang menaruh pangkalan militernya di Jepang sehingga menganggap peristiwa tersebut sebagai ancaman bagi pemerintah Korea Utara jika mengingat bahwa Amerika Serikat dan Korea Utara sama-sama bersaing atas kepemilikan persenjataan nuklir keduanya. Padahal di sisi lain, Korea Utara masih memiliki konflik dengan negara yang sesama Korea yakni Korea Selatan. Keduanya berkonflik karena adanya pengaruh Uni Soviet terhadap wilayah Korea Utara sedangkan kubu Korea Selatan disokong oleh pengaruh liberalisme Amerika Serikat.
Implikasi dari hubungan internasional yang ada di kawasan Asia Timur terhadap perpolitikan internasional, salah satunya berdampak pada pembentukan hubungan yang lebih baik dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dengan negara-negara yang ada di Asia Timur, seperti Cina dan Jepang. Poros hubungan yang saat ini mulai cenderung terkonsentrasi ke kawasan Asia Timur seakan menarik perhatian publik dunia ke kawasan ini sehingga menjadikan Asia Timur sebagai wilayah yang menentukan pada abad ke-21 sekarang. ASEAN merupakan contoh regionalisme yang sedikit banyak mendapat pengaruh dari perubahan hubungan internasional yang terjadi di Asia Timur saat ini, khususnya Cina mengingat Cina sekarang banyak berkontribusi pada perkembangan dan kemajuan ASEAN bahkan setelah ASEAN membentuk ARF. Dengan demikian, tidak hanya stabilitas politik yang dipengaruhi namun juga sektor perekonomian. Selain itu, ASEAN yang notabene regionalisme bentukan negara-negara Asia Tenggara, secara geografis pun memiliki kedekatan dengan kawasan Asia Timur sehingga pengaruh-pengaruh tersebut tidak dapat dihindarkan. Jika merujuk pada pendapat Ravenhill (2008: 32), Asia Timur merupakan kawasan yang hari ini kedekatan hubungan antarnegara di dalamnya tidak dapat diragukan lagi dengan mulai terajut kembali dan menjadi semakin erat.
Kesimpulannya, Asia Timur merupakan kawasan yang mengalami perubahan konteks hubungan internasional di mana fenomena tersebut terjadi pasca berakhirnya Perang Dingin yang seiring dengan pertumbuhan pesat ekonomi Cina sehingga banyak prediksi dari para ahli dalam merespon kejadian-kejadian tersebut. Asia Timur tergolong wilayah yang memiliki dinamika cukup fluktuatif yang terbukti dengan banyaknya konflik antarnegara di dalamnya. Menurut Joseph S. Nye, meskipun Cina dipandang sebagai kekuatan baru, tapi secara statistik Cina masih jauh untuk menyamai kekuatan yang dimiliki oleh Amerika saat ini, dan masih harus menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks dalam pembangunan. Bahkan meskipun sejumlah pakar, seperti Goldman Sachs memproyeksikan bahwa di tahun 2027 Cina akan mampu melampaui GDP Amerika, tetapi Nye memandang kesamaan size tersebut tidak menjamin kesamaan komposisi (bukan kuantitas). Karena Cina sendiri masih menghadapi berbagai masalah, khususnya demografi. Meskipun Cina sejauh ini sukses membuktikan bahwa sistem politiknya yang otoriter mampu membawa stabilitas di pemerintahan, tapi hal tersebut belum menjawab masalah tuntutan akan partisipasi politik yang lebih baik. Sehingga kemudian banyak pengamat dan ahli yang memperkirakan bahwa masih jauh bagi rakyat Cina untuk dapat menikmati standar hidup yang cukup tinggi layaknya di Eropa atau Amerika Serikat (Ghitis dalam www.worldpoliticsreview.com). Cina juga butuh kehati-hatian dalam mengambil sikap untuk merespon pesatnya perkembangan bangsa-bangsa lain di Asia, seperti India dan Jepang, yang dikenal memiliki hubungan yang cukup akrab dengan Amerika Serikat.


Sumber:
http://vinandhika-p--fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-47698-MBP%20Asia%20Timur-Hubungan%20Internasional%20di%20Asia%20Timur.html


0 komentar:

Posting Komentar